Sumber Foto: https://mlc.ryerson.ca/img/cache/1151_w750.jpg
Dimanakah kita sekarang ini? jaman moderen? atau lebih dari itu. Para pakar humanisme menyatakan abad 21 ini merupakan perjalanan post-modern, istilah baru setelah ditemukannya berbagai teknologi yang lahir dari observasi dan pengalaman empiris.

Senyatanya, modernisme terlahir dari rahim skeptis (keragu-raguan) dan melahirkan cara pandang naturalis, hingga manusia tidak percaya lagi tentang apa tujuan diciptakannya Dunia dan apa tugas manusia di Dunia. Kenyataannya, modernitas membentuk tren, cara pandang, pola berfikir rasionalis dengan memberi jarak pada spiritualitas.



Perjalanan peradaban bagi para pakar sejarah, filosof dan sosiologi memiliki karakter berbeda tiap jaman, salah satu karakternya adalah abad Modern dengan ciri dan cara hidup yang unik. Tulisan ini mengulas 4 ciri besar modernisme dalam pandangan filsafat.

Pertama, pendewaan terhadap rasio. Pada awal munculnya modernisme itu bahwa (abad ke-18), rasio (akal) dipandang sebagai satu-satunya kekuatan yang mampu membimbing manusia menuju kebahagiaan hidup. Kehidupan ditegakkan atas prinsip serba rasional dan memunculkan harapan baru bahwa modernisme kelak akan menjadi "surga" bagi manusia. Masa awal pertama kali diberantas oleh rasio adalah pandangan pandangan mitologis dan paham-paham irrasional sampai mengecilkan peranan agama dan aplikasi nilai agama dalam kehidupan manusia.
Di barat misalnya, muncul Agnotisme (dikatakan beragama, tidak; tidak dikatakan tidak beragama pun tidak) bahkan sampai pada paham Ateisme.
Kepercayaan yang tinggi terhadap kemampuan rasio kemudian ditunjang oleh pengamatan empiris (dengan metode observasi dan eksperimen) lebih memperkokoh kedaulatan rasio-empiri dalam memahami realitas. kedua instrumen pengetahuan tersebut memberikan kehidupan subur kepada sains dan teknologi. Sehingga pengagungan pada rasionalitas tidak terelakkan.

Kedua, Kebenaran tunggal. sikap mendewakan rasio dan menempatkanya sebagai sumber pengetahuan tertinggi, sehingga rasio dipandang mampu menciptakan kebenaran universal. Di era modernisme, kebenaran produk rasio dan empiri dianggap sebagai kebenaran tunggal. Kemudian kebenaran tunggal diklaim oleh Barat sebagai pemilik kebenaran tunggal itu. Di luar ilmu Barat tidak ada yang absah dan diluar peradaban barat tergolong peradaban inferior (rendah). Akibatnya ilmu dan peradaban Barat diperlakukan secara universal dan terjadilah imperialisme epistemologis, imperialisme politik, ekonomi, pemanfaatan sumber daya alam dan kriteria hak asasi manusia segalanya dipandangan dengan cara berfikir Barat.

Ketiga, ilmu pengetahuan dan teknologi. ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai prestasi gemilang modernisme, dan berhasil membawa kemajuan bangsa-bangsa di dunia. Ilmu pengetahuan berupaya memperkokoh dirinya dengan kemampuan internalnya memisahkan diri dari doktrin-doktrin Agama. Dengan metode induktif mengamati alam yang bersifat mekanis dan matematis, pencarian hukum sebab akibat yang mengatur alam semesta melahirkan paham naturalisme. Pandangan naturalisme melihat alam ini sebagai sebuah mesin raksasa dengan mekanisme kerja secara kausalitas, menyebabkan sebagian ilmuan tidak lagi melihat alam ini sebagai ciptaan Tuhan, melainkan adalah produk alam itu sendiri. [Lihat selengkapnya dalam Ronald McKinney, "Toward a Resolution of The Modernist/Postmodernist Debate", dalam Philosophy Today, (Vol. XXX, No. 3 April, 1986), Hlm. 238.]
Memandang keindahan alam bukan lagi merasakan kebesaran Tuhan, melainkan kekaguman pada alamitu sendiri. Niscaya alam menyimpan berbagai rahasia yang berguna bagi manusia, maka alam pun di eksploitasi dan akhirnya merusak ekosistem yang membawa malapetaka bagi manusia itu sendiri.

Keempat, Antroposentrisme. Kemampuan manusia modern lebih tinggi dibanding manusia era sebelumnya, lalu manusia "membesarkan diri", menjadikan dirinya sebagai sentrum alam semesta dan ukuran bagi segala sesuatu. Manusia tidak menghiraukan nilai-nilai dari "luar" dirinya, yakni nilai transenden dari Tuhan. Karena manusia memandang dirinya menjadi ukuran (norma) bagi segalanya.

Modernisme melahirkan berbagai pandangan manusia yang melahirkan peradaban dunia seperti sekarang ini, namun dengan cara semacam itu pelan-pelan kebahagiaan adalah hal yang di-nyata-kan, bukan lagi kenikmatan rohani, batin ataupun jiwa spiritual.

Sudahkah merasa modern hari ini?

Alvarisi
Penulis | Orang Biasa | Temanmu
kalahingsa@gmail.com