Dalam tulisan ini akan berpijak pada yang pertama adalah istilah modern sebagai pijakan awal, selanjutnya adalah bagaiman deskripsi “krisis spiritualitas” sebagai efek dunia modern.
Sejarah manusia kita mengenal dengan tiga zaman, pra-modern modern dan post-modern. Abad modern di Barat, yang dimulai sejak abad XVII, merupakan awal kemenangan supremasi rasionalisme, empirisme dan positivism dari dogmatisme Agama. Abad modern dibangun atas dasar pemisahan antara “ilmu pengetahuan” dan “filsafat dari pengaruh agama (sekulersime)”. Perpaduan antara rasionalisme dan empirisme dalam satu paket epistemologi melahirkan apa yang oleh Huxley disebut dengan “metode ilmiah” (scientific method).
Selain itu abad modern ditandai dengan afirmasi diri manusia sebagai subjek. Manusia sebagai mahluk yang menyatakan dirinya “ada” dan “berfikir”, sebagai ungkapan “cogito ergo sum” Descartes mencoba memperlihatkan bahwa manusia yang “nyata” adalah yang berfikir, berpijak di dunia dan ada. Manusia dibimbing oleh rasio atau akal budi. Manusia sebagai pengendali utama tingkah lakunya.
Peradaban modern yang berkembang di Barat sejak jaman renaissance merupakan kegagalan dari sebuah eksperimen yang amat parah, sehingga umat manusia menjadi ragu dan akan pertanyaan apakah mereka dapat menemukan cara-cara lain di masa yang akan datang. Hal ini dikatakan Sayyed Hossein Nasr, manusia modern yang memberontak melawan Allah, rasionalitas menjadi satu-satunya alat yang digunakan untuk mencapai pengetahuan dengan mengesampingkan spiritualitas yang ada.

Akibat fenomena diatas, masyarakat Barat, yang sering digolongkan sebagai the post industrial society, suatu masyarakat yang telah mencapai tingkat kemakmuran materi dengan perangkat teknologi yang serba otomatis dan canggih. Bukannya semakin mendekati kebahagiaan hidup, namun melainkan sebaliknya, kian dihinggapi rasa cemas justru akibat kemewahan hidup yang diraihnya. Mereka memuja ilu dan teknologi, sehingga tanpa disadari integritas kemanusiaannya tereduksi, lalu terperangkap pada jaringan sistem rasionalitas teknologi yang sangat tidak humanis.
Sekali lagi Nasr menjelaskan tentang adanya eksistensi manusia yang berada di wilyah pinggiran eksistensinya sendiri, bergerak menjauh dari pusat, baik yang menyangkut dirinya sendiri maupuan dalam lingkungan kosmisnya. Mereka merasa cukup dengan perangkat ilmu dan pengetahuannya. Dengan ungkapan lebih popular masyarakat Barat telah memasuki The Post-Christian Era dan berkembanglah paham “pelepasan Agama dan pengetahuan”(secularism). Sekularisasi, meminjam penjelasan Peter L. Berger, dapat dibedakan menjadi dua bentuk; dalam arti sosial pemisahan institusi agama dan politik. Yang lebih penting dalam kontek keagamaan adalah “adanya proses-proses penerapan dalam pikiran manusia dalam sekularisasi kesadaran”. Diperjelas oleh Harvey Cox tentang makna sekularisasi, yaitu: “terbebasnya manusia dari kontrol ataupun komitmen terhadap nilai-nilai Agama”. Lebih lanjut katanya, sekularisasi terjadi ketika manusia berpaling dari “dunia sana” dan hanya memusatkan perhatiannya pada “dunia sini dan sekarang”.

Proses sekularisasi kesadaran ini, menyebabkan manusia modern kehilangan Self Control  sehingga mudah dihinggapi berbagai penyakit rohaniah; ia menjadi lupa akan siapa dirinya  dan untuk apa hidup ini serta kemana sesudahya. Nasr Menulis:
 “Masalah penghancuran lingkungan oleh technologi, krisis ekologi, dan semacamnya, semuanya bersumber dari penyakit amnesis atau pelupa yang diidap oleh manusia modern. Manusia modern telah lupa, siapakah ia sesungguhnya. Karena manusia modern hidup dipinggir lingkaran eksistensinya; ia hanya mampu memperoleh pengetahuan tentang dunia yang secara kualitatif bersifat dangkal dan secara kuantitatif berubah-ubah. Dari pengetahuan yang hanya bersifat eksternal ini, selanjutnya ia berupaya merekonstruksi citra dirinya. dengan begitu, manusia modern semakin jauh dari pusat eksistensi, dan semakin terperosok dalam jeratan pinggir eksistensi.
Menurut Nasr, begitulah perkembangan masyarakat Barat Modern yang telah kehilangan visi keillahiahanya, telah tumpul penglihatan intellectusnya dalam melihat realitas hidup dan kehidupan. Istilah intellectus mempunyai konotasi kapasitas “mata hati”, satu-satunya elemen esensi manusia yang sanggup menatap bayang-bayang Tuhan yang diisyaratkan oleh alam semesta.
Manusia untuk dapat mencapai level yang eksistensi, tentu harus mengadakan pendakian spiritual dan melatih ketajaman intellectus.   Ditandaskan Nasr, bahwa pengetahuan fragmentaris tidak dapat digunakan untuk meilhat realitas yag utuh kecuali padanya memiliki visi intellectus tentang yang utuh tadi. Kemudian dikatakan bahwa dalam setiap hal pengetahuan yang utuh tentang alam tidak dapat diraih, melainkan harus melalui pengetahuan dari pusat, atau axis, karena pengetahuan tersebut mengandung pengetahuan tentang yang ada dipinggir dan juga ruji-ruji yang menghubungkannya.

Nihilisme dalam Spiritualitas 
Akibat mengagungkan rasio, manusia modern mudah dihinggapi penyakit kehampaan spiritual. Kemajuan yang pesat dalam lapangan ilmu pengetahuan dan filsafat rasionalisme abad 18 dirasakan tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok manusia dalam aspek nilai-nilai transenden, itulah gambaran tentang manusia modern yang jatuh. Dalam perspectif ini, Berger mengatakan; “Nilai-nilai supra-natural telah lenyap dalam dunia modern. Lenyapnya nilai tersebut dapat diungkapkan dalam suatu rumusan kalimat agak dramatis sebagai ‘Tuhan telah mati’ atau ‘Berakhirnya Zaman Kritus’.”
Dengan hilangnya batasan-batasan yang dianggap dan diyakini sebagai sakral dan absolut, manusia modern lalu melingkar-lingkar dalam dunia yang serba relative, terutama sitem nilai dan moralitas yang dibangunnya. Marcel A. Boisarr berkata, “Barat telah kehilangan rasa supernatural (alam gaib) secara besar-besaran.” Kondisi manusia modern sekarang ini telah mengabaikan kebutuhan paling mendasar yang bersifat spiritual, maka akibatnya mereka tidak menemukan ketentraman bathin. Dengan begitu ia tidak menemukan keseimbagan dalam dirinya. Tekanan ini akan menjadi lebih hebat apabila kebutuhan materi kian meningkat serta keseimbangan akan semakin rusak.

Sengketa Iman dan Raja Rasio
Krisis spiritual kemudian menghasilkan berbagai fenomena manusia itu sendiri, krisis pencarian jati diri, manusia mencari dirinya, mencari keberadaan dimana ia berpijak, hingga yang paling akut adalah krisis kejiawaan yang berdampak pada akal dan seluruh fakultas manusia. Transformasi, atau perpindahan cara hidup manusia dalam memenuhi kebutuhan spiritual tercerap dalam keikutsertaan masyarakat modern dalam sekte-sekte pemujaan. Munculnya kultus-kultus dan sekte-sekte spiritual ekstrim yang sangat fundamentalis. Sebagai contoh, misalnya kasus David Koresh dengan Clan Davidian-nya, yang membakar diri setelah dikepung tentara Amerika, atau pendeta Jim Jones yang mengajak jamaahnya bunuh diri secara massal di hutan, atau kasus sekte sesat Ashahara di Jepang yang membunuh massa di jembatan kereta api bawah tanah.
Kasus sedemikian rupa mengindikasikan kurangnya pendalaman spiritualitas sehingga menimbulkan kebingungan dalam hidup. Kekalutan dan kehilangan kendali dalam menghadapi kehidupan yang semakin sulit, jiwa-jiwa dan batin mereka sibuk mencari, namun tidak tahu apa yang mereka cari. Dalam pandangan Nasr, spiritual dalam kerangka Barat cenderung dipahami sekedar fenomena psikologi. Perkembangan ini tentu saja tidak dapat dilepaskan dari dari akibat-akibat kemanusiaan yang muncul dalam proses modernisasi, yang kemudian mendorong mencari tempat pelarian yang memberikan perlindungan dan kepuasan yang cepat. Tentu saja dengan mengikuti kelompok kerohanian dan fundamentalis tersebut.

Postcript
Tentu saja, penilaian terhadap spriitualitas dibentuk dari cara pandang kita terhadap spiritualitas tersebut. Kondisi yang semakin kacau sangat disayangkan jika manusia. modern juga ikut kehilangan dirinya sendiri. Kehausan yang nampak tidak nyata malah semakin nyata dirasakan oleh manusia modern. Maka pada kenyataan akhir, sekularisasi mengharapkan agar direduksi dan spiritualitas di kembangkan, untuk mendapatkan makna sekaligus rasa dalam menjalankan keimanan.

*Alvarisi
Writer | Your Friends